Minggu, 13 Desember 2015

ISBAL


Siapa Bilang Isbal itu Haram?

Rasulullah diutus oleh Allah sebagai suri tauladan bagi umat manusia di dunia sepanjang masa hingga hari kiamat tiba. Kita yang mengaku sebagai umat Rasulullah, tentu harus melakukan apa-apa yang telah Rasulullah perintahkan dan menjauhi apa-apa yang telah Rasulullah larang, akan tetapi kebanyakkan orang melalaikannya, salah satunya adalah tentang masalah isbal.
Apa itu isbal? Isbal itu memanjangkan pakaian hingga melewati mata kaki. Ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, ada yang mengatakan hukumnya haram ada pula yang mengatakan hukumnya boleh. Akan tetapi, menurut penulis sendiri isbal itu hukumnya haram berdasarkan hadist-hadist Rasulullah yang jelas-jelas telah melarangnya. Hadist-hadist yang akan penulis sampaikan adalah hadist-hadist yang derajatnya shohih.
Rasulullah bersabda, “Kain seorang muslim setengah betis.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah bersabda, “Jauhi isbal karena hal itu termasuk kesombongan.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah bersabda, “Kain seorang muslim hingga otot betis, kemudian separo betis, kemudian hingga ka’bain (dua mata kaki). Kain yang ada di bawah itu berada di dalam neraka.”(HR. Ahmad)
Dari Hudzaifah, beliau berkata, Rasulullah memegang otot betisku lalu berkata, “Ini merupakan batas bawah kain sarung, akan tetapi jika engkau tidak setuju maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau tidak setuju juga maka tidak ada hak bagi sarung berada pada mata kaki.” (HR. Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, ia berkata, bahwasanya Rasulullah berkata, “Sarung itu hingga pertengahan betis.” Akan tetapi, setelah menyadari bahwa hal itu memberatkan umat Islam, beliau bersabda, “Sampai mata kaki. Tidak ada kebaikan untuk kain yang lebih bawah dari itu.” (HR. Ahmad)
Rasullah bersabda, “Sungguh, Allah tidak mau memandang orang yang mengisbal pakaiannya” (HR. Nasa’i)
Rasullah bersabda, “Kain yang berada di bawah dua mata kaki di dalam neraka.” (HR. Bukhari)
Dari ‘Amr bin al Syuraid, beliau berkata, “Rasullah melihat seseorang yang menyeret pakainnya. Beliau lantas mengejarnya atau berjalan cepat untuk menyusulnya seraya bersabda, “Tinggikan kainmu dan takutlah kepada Allah”. Orang tersebut berkata, “Kakiku berbentuk O dan kedua lututku kecil!” Nabi bersabda, “Tinggikan kainmu! Setiap ciptaan Allah itu bagus.”. Semenjak itu ujung kainnya tidak pernah melebihi pertengahan betis. (HR. Ahmad)
Dari Asy’ats bin Salim, beliau berkata, Aku mendengar bibiku bercerita dari pamannya bahwa pamannya berkata, “Ketika aku berjalanan menyusuri kota Madinah tiba-tiba ada seseorang di belakangku berkata, “Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan”. Ternyata dia adalah Rasulullah, Aku lantas berkata, Wahai Rasulullah, ini hanya sebuah pakaian yang bagus! Beliau bersabda, “Tidakkah pada diriku terdapat teladan?”. Setelah kuperhatikan ternyata pakaian beliau hingga pertengahan betis.” (HR. at-Tirmidzi)
Rasullah bersabda, “Orang yang shalat dalam kedaan isbal tidaklah berada dalam keadaan yang dihalalkan dan tidak pula dalam keadaan yang diharamkan Allah” (HR. Abu Dawud )
Maksud dari hadits ini bahwa orang tersebut tidak beriman terhadap apa yang Allah halalkan dan tidak beriman terhadap apa yang Allah haramkan.
Rasulullah bersabda, “Kain yang berada di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang tidak Allah ajak bicara pada hari kiamat, tidak Dia pandang, tidak Dia sucikan, dan bagi mereka siksa yang pedih. Mereka adalah orang yang mengisbal pakaian, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu” (HR. Muslim)
Wallahu ‘alam
Contact/Wa 0812 2267 9788 a/n Ristoni BBM : 751C1A6A E-mail : ristonirtx@gmail.com Fb : Ristoni syabab hizb

PENYIMPANGAN


Memahami Makna dan Pentingnya Aqidah serta Sebab-sebab Penyimpangan Aqidah

Arti Aqidah
– Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas dari keraguan.
– Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
– Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.
Aqidah Islam
– Aqidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci Allah SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang merugi” (QS, Az-Zumar: 65).
– Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat didalamnya. Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri.
– Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
Pentingnya Aqidah Yang Lurus (Aqidah Shahihah)
– Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga pelurusan aqidah adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para Rasul Allah, setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Didalam Al Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali ajakan para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang menjelaskan aqidah yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami sebaik mungkin oleh setiap umat Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya.
– Tanpa aqidah yang benar seseorang akan terbenam dalam keraguan dan berbagai prasangka, yang lama kelamaan akan menutup pandangannya dan menjauhkannya dari jalan hidup kebahagiaan.
– Tanpa aqidah yang lurus seseorang akan mudah dipengaruhi dan dibuat ragu oleh berbagai informasi yang menyesatkan keimanan kita.
Sebab-sebab Penyimpangan dari Aqidah Shahihah
1. Kebodohan, karena tidak ada kemauan (dan enggan) untuk mempelajarinya, sehingga ia tidak bisa mengenal mana yang benar mana yang salah menurut aqidah Islam. Dalam kehidupan ini manusia belajar memahami arti kebaikan (haq) dan keburukan (bathil) dari berbagai sumber, baik dari sumber syariah Islam, dari pergaulan serta dari kesepakatan umum antar manusia mengenai akhlak (karena sebagian kebaikan memang sudah ada dalam diri manusia sebagai fitrah). Namun kebenaran yang mutlak (haq) bersumber dari Allah (syariah Islam), sedang yang bersumber dari manusia dibatasi akal dan kepentingan manusia. Akal manusia terbatas, karena itu tidak mampu memahami secara baik mengapa babi diharamkan. Demikian juga kepentingan manusia dibatasi nafsunya, misalnya pendapat kaum liberal bahwa perzinahan dibolehkan asal mau sama mau. Keterbatasan manusia ini jelas difirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 216, “. . . Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” .
2. Fanatik (ta’ashshub) kepada sesuatu yang diwarisi orang tua atau nenek moyang kita (tradisi), sekalipun hal itu bathil, atau menolak yang bertentangan dengan tradisi sekalipun itu benar. Ketahuilah bahwa ketentuan dalam syariah Islam tidak pernah berubah, sedang kehidupan dan ilmu manusia bisa berubah dari waktu ke waktu. Karena itu hendaknya kita secara langsung belajar dan berpedoman pada Qur’an dan Hadits, tidak sekedar mengikut kebiasaan yang ada tanpa memahami ilmunya. Disinilah pentingnya mempelajari agama Islam secara benar untuk meluruskan aqidah maupun syariatnya agar kita tidak sekedar melakukan ibadah sesuai tradisi (kebiasaan) yang kita terima di keluarga kita atau di lingkungan kita. Bisa jadi tradisi (kebiasaan) itu menyimpangkan ilmu akibat membiasnya proses penyampaian atau penerimaan ilmu, bisa jadi pula karena orang tua atau kakek kita belajar dari sumber yang salah, atau bisa jadi pula karena terbatasnya waktu pendidik kita (orang tua atau guru sekolah) kita dalam menyampaikan ilmu agama secara lengkap.
3. Taqlid (mengikuti) secara buta, yaitu mengikuti pendapat manusia tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenaran dalil yang ia gunakan. Bila ia mengikuti suatu imam atau ajaran yang sesat tanpa mau menyelidikinya, maka jadilah ia penganut paham yang sesat.
4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali atau orang-orang yang shalih, bahkan mengangkat derajat mereka dibanding manusia lainnya. Termasuk diantara mereka misalnya orang yang meminta sesuatu melalui ziarah kubur kepada para wali, atau mengikuti ajaran seorang shaleh panutannya sambil menolak atau meremehkan ajaran dari orang sholeh lainnya.
5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan terhadap kebesaran dan sifat-sifat Allah di alam jagad raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan yang tertuang dalam Kitab-Nya (Qur’aniyah). Mereka lebih kagum pada hasil karya manusia, teknologi, seni dan kebudayaan ciptaan manusia. Bahkan mereka menganggap keunggulan dan keindahan karya manusia itu memang hasil kreasi manusia semata tanpa campur tangan Allah. Ingatlah firman Allah, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS, As-Shaffat:96)
6. Rumah tangga (keluarga) yang hampa dari ajaran Islam, yaitu para orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan agama Islam bagi anak-anaknya. Padahal orang tua mempunyai peranan terbesar dalam menentukan lurus tidaknya jalan hidup anaknya berdasarkan syariah Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanya lah yang kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Al-Bukhari).
7. Godaan lingkungan, yaitu berupa godaan cara dan gaya hidup yang menggunakan nilai-nilai kebaikan yang tidak sesuai syariah Islam, termasuk dalam hal ini godaan gaya hidup maksiat yang menurut standard bangsa barat yang liberal dipandang sebagai hal yang normal. Umat yang lemah iman dan ilmunya melihat hal ini wajar-wajar saja dan tidak berbahaya, sedang ajaran Islam telah menentukan dengan jelas mana yang benar (haq) dan mana yang salah (bathil). Sebagai contoh, di kolam renang pria dan wanita dengan pakaian yang hanya menutup paha atas dan (hingga) dada sudah dianggap wajar dan sopan menurut masyarakat masa kini, tapi tidak menurut Islam. Contoh lain, sebagian umat Islam yang awam menganggap mengucapkan selamat hari raya agama lain dianggap wajar dan menunjukkan sikap baik karena menghormati toleransi beragama, padahal berbagai dalil Qur’an dan Hadits telah melarangnya, dan keharamannya ditegaskan pula dalam fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Secara sosial, nilai-nilai barat seperti demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang diadopsi dari pemikir barat lebih mudah diterima (bahkan dipaksakan) pada semua lintas agama dan lintas bangsa. Namun kalau diteliti, nilai-nilai kebaikan tersebut berbahaya dalam jangka panjang apalagi menurut syariah Islam. Dalam situasi dunia yang dikuasai barat, maka umat Islam ditekan secara halus maupun kasar untuk menerapkan demokrasi dan HAM ala barat dengan cara tekanan ekonomi, tekanan politik, tekanan kekuatan angkatan perang mereka, dan bahkan di dalam negeri sendiri media massanya banyak yang sudah sejalan dengan pemikiran liberal mereka.
Kekuatan Aqidah Yang Lurus
Aqidah yang lurus akan menjadi benteng yang kuat untuk menolak berbagai godaan dunia, penyimpangan paham, bid’ah (ajaran baru) dan aliran sesat dari Islam. Kita akan tampil kuat dan percaya diri (yakin penuh pada ajaran Islam) di tengah godaan kehidupan dunia dan godaan ajaran yang menyesatkan di sekeliling kita.
Aqidah yang lurus juga akan menambah kecintaan kita pada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan takut men-zhalimi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, yang mana akhirnya akan menambah kekhusyu’an kita dalam beribadah. Dengan menguatkan aqidah maka kita dapat mencintai Allah secara benar, mengharapkan-Nya secara benar dan takut pada-Nya secara benar pula. Kita mencintai Allah (Muhabbah) karena sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Lembut, Maha Sabar, Maha Suci dan Maha Adil. Kita juga selalu mengharapkan-Nya (Raja’), karena kita tahu sifat-Nya yang Maha Pengampun, Maha Mengabulkan, Maha Pembalas Jasa, Maha Pemberi Rizki dan Maha Penolong. Kita juga merasa takut (Khauf) untuk melakukan dosa, karena kita tahu sifat-sifat Allah yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Mendengar, Maha Pembalas, Maha Pembuat Perhitungan dan Maha Menetapkan Hukum.
Sumber tulisan:
-Kitab Tauhid, jilid 1, Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Penerbit Darul Haq,
-Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa
Contact/Wa 0812 2267 9788 a/n Ristoni BBM : 751C1A6A E-mail : ristonirtx@gmail.com

ASWAJA


Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah dan para Sahabatnya Saw. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi dan para Sahabatnya
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. (Lisaanul ‘Arab (VI, 399)
Sedangkan menurut ulama `aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menya¬lahinya akan dicela. (Buhuuts fii Aqidah Ahlis Sunnah, hal 16)
Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak me¬namakan As-Sunnah kecuali kepada apa Baja yang mencakup ketiga aspek tersebut. (Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al¬Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin `Iyadh (wafat th. 187 H).
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al¬haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. (Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Aqiidah)
Al Jama’ah menurut ulama `aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. (Syarhul ‘Aqiidah Al Wasithiyyah, hal 61, oleh Khalil Hirras)
Imam Abu Syammah Asy-Syafi’i (wafat th. 665 H) ber¬kata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meski¬pun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahi¬nya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah
dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud :
“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.””
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah dan mengikuti Atsar Jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per¬tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Al Ghurabaa’ (orang asing).
Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah  bersabda:
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.” (HR. al-Bukhari no. 3641 dan Muslim no. 103 dari Mu’awiyah Radhiyallaahu’anhu).
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah bersabda:
“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagai¬mana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ (orang¬ orang asing).” (Muslim (no. 145) dari Sahabat Abu Hurairah. ra)
Sedangkan makna al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang di riwayatkan oleh `Abdullah bin `Amr bin al-`Ash ketika suatu hari Rasulullah menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau bersabda:
“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.” (HR. Ahmad Juz. II/177, 222)
Rasulullah juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa’:
“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.” (HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykiil Aatsaar Juz II/170 no. 689)
Dalam riwayat yang lain disebutkan ;
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah sepeninggalku sesudah dirusak oleh manusia.”
(HR. At-Tirmidzi (no. 2630), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf.ar )
Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: `Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan, dan yang lainnya,
Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi , mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.””
Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah:
“Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Art, dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini Berta orang-orang awam yang mengikuti mereka, baik di timur maupun di barat.”
Dinukil dari Kitab “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”,
oleh Ust Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Contact/Wa 0812 2267 9788 a/n Ristoni BBM : 751C1A6A E-mail : ristonirtx@gmail.com Fb : Ristoni syabab hizb

Comments system

Disqus Shortname